Jumat, 18 Februari 2011

Q! Stories

Q! Stories adalah sebuah buku kumpulan cerpen terbitan Q! Publisher di bawah naungan Q! Lit. Berisi 12 cerita pendek dari 12 penulis berbeda. Diterbitkan bersamaan dengan pengadaan Q! Film Festival, buku ini membawa tema yang sama, bercerita seputar kehidupan LGBT (Lesbian Gay Bisexual Transexual).

Mungkin banyak yang belum mengetahui, bahwa saya, adalah salah satu dari 12 penulis yang beruntung tersebut. Dari sekian banyak cerpen yang diterima panitia Q! Literature, akhirnya dipilih lah 12 cerita yang dianggap paling baik dan sesuai dengan yang dicari.

Jauh sebelum ISI selesai saya kerjakan, buku ini telah beredar di pasaran. Meski hanya dijual sepanjang Q! Film Festival berlangsung, nyatanya penjualan buku ini cukup mengesankan. Sebagai seorang penulis pemula, cerita saya bisa berada di salah satu buku terbitan penerbit yang cukup ternama, adalah hal yang sangat mewah dan menggembirakan. Seperti diinformasikan kepada kami, para penulis, cetakan pertama buku ini adalah sebanyak 2000 eksemplar. 2000 eksemplar! Dan buku tersebut memuat nama saya. Maaf, nyatanya, saya memang sangat norak untuk hal ini.

Royalti? Ya, tentu saya sebagai penulis mendapatkan royalti atas penerbitan buku ini. Adalah pengalaman pertama bagi saya, menandatangani kontrak dengan sebuah penerbit. Dan ketika akhirnya Shilla, salah satu koordinator menawarkan, bagaimana jika royalti bagian saya ikut disumbangkan kepada yayasan sosial, saya dan penulis lain dengan cepat setuju.

Sekarang, buku ini, menurut informasi yang terakhir saya terima, sedang dalam proses untuk didistribusikan ke toko buku terkemuka di Indonesia. Harapan terbesar saya kedua, adalah mejeng di capital G! dengan sebuah buku yang memuat nama saya sebagai, setidaknya, salah satu penulisnya.

Mari, bantu doa saja!

:D


Dee

Selasa, 21 Desember 2010

Resensi ISI: oleh (Daeng) Rusdianto

Kalau bisa membaca isinya di kompasiana -gratis-, lalu buat apa memiliki bukunya ? Pertanyaan ini muncul begitu mendengar kabar terbitnya buku seorang kompasianer, yang isinya melulu tulisan-tulisan yang pernah dipublikasikan di blog social media ini. Namun belakangan saya temukan, jawabannya justru telah ada jauh sebelum muncul pertanyaan tersebut.

Beberapa kompasianer telah menarik hati saya melalui karya-karyanya sejak mula bergabung di Kompasiana; Endah Raharjo, Agung SDW, Silveria Verawaty, Odi Salahuddin, Della Anna, Pungky, Gibb, Santy Novaria, Mays, Dee Dee Sabrina, untuk menyebut antara lain kompasianer favorit saya. Kerap timbul rasa ‘kesal’ bila kompasianer bersangkutan, lama tidak memposting tulisannya. Sejak mula pula, saya berhasrat agar  tulisan-tulisan mereka dapat dibukukan, terlepas apakah mereka juga punya hasrat yang sama. Bila salah satu dari mereka berhasil menerbitkan karya dalam versi cetak; Saya ingin memilikinya.

Membaca tulisan di media online belum senyaman membaca buku. Selain butuh koneksi internet -lebih mahal-, juga ada kemungkinan tulisan-tulisan lama yang hendak kita baca ulang telah dihapus oleh pemiliknya, atau bahkan lebih parah lagi, situs penyimpanannya telah hilang dari peredaran. Pengarsipan dengan kertas jauh lebih aman menurut saya.

Maka, ketika tersiar kabar terbitnya buku antologi fiksi karya kompasianer Dee Dee Sabrina yang pernah dimuat di kompasiana, saya lansung memesan via online kepada penulis bersangkutan..

* * *
12929387132078416450


ISI. Sebuah buku antologi cerita fiksi karya Dee Dee Sabrina. Dengan maksud memudahkan pembaca mengidentifikasi bentuk cerita, penulis mengelompokkan isinya kedalam 4 bagian, masing-masing berisi 4 cerita, total 16 cerita fiksi. Pengelompokan itu semata pengkategorian bentuk/jenis fiksi yang dipergunakan penulisnya untuk menuangkan cerita; Monolog-dialog; flash fiction; cerita pendek; tetralogi roman. Kategori terakhir biasanya hanya lazim ditemui pada fiksi panjang semacam novel (mis. karya Andrea Hirata & Pram). Disini Dee Dee seolah ingin mengatakan bahwa kategori tetralogi tidak mempersyaratkan panjang pendeknya sebuah cerita.

Kekuatan utama buku ini ada pada kepiawaian penulisnya memilih ide cerita yang orisinil. Tak ada cerita yang luput dari dukungan tema yang kuat -hal yang mulai langka ditemukan sekarang ini-. satu tema untuk satu cerita. Penulisnya cukup disiplin untuk tidak membiarkan diksi dan rangkaian kalimat bermain diluar tema yang telah ditentukan. Pada Rokok Pembunuh, misalnya, penulisnya hanya bercerita tentang tokoh yang takut terbunuh oleh asap rokok sehingga harus membunuh setiap orang yang merokok didekatnya, dari awal sampai akhir.

Aku tidak suka rokok. Tidak pernah suka asap rokok. Ketika SMP, rumahku yang terbuat dari papan kayu seadaanya terbakar habis. Seorang jalang membuang puntungnya…..

Aku tidak suka rokok. Tidak pernah suka asap rokok. Lelaki asing yang berjanji membawaku kenegerinya memenuhi mulutku dengan aroma nikotin…

Tema -yang juga bisa berarti moral cerita- yang kuat juga tersaji pada Indigo. Dee Dee tahu bahwa manusia takut pada hantu disaat yang sama mereka tidak pernah melihatnya. Meminjam karakter Nanda (anak 10 tahun yang ‘mampu‘ melihat mahluk gaib seperti hantu, arwah, etc) yang membandingkan antara mahluk gaib yang dilihatnya dengan mahluk nyata, yaitu ibunya, Dee Dee menjungkirbalikkan persepsi khalayak. Bahwa justru manusia nyata jauh lebih menakutkan ketimbang mahluk gaib.

Dee Dee sepertinya terobsesi untuk menjungkirbalikkan kelaziman. Saya curiga, dia enggan menulis meski telah menemukan tema, jika belum menemukan logika terbalik dari ide dasar cerita. Fakta ini secara gemilang diwujudkannya -juga- pada Muntah Manusia. Cerpen ini mengisahkan seorang psikolog kepolisian yang mencoba menginterogasi seorang psikopat; pembunuh berantai yang mengeksekusi korbannya hanya karena muak melihat manusia (misanthropy). Atas saran ahli tokoh psikolog, psikopat itu dihukum dengan cara membunuh dirinya sendiri; dia ditempatkan pada sel yang terbuat dari cermin. Bagi Dee Dee, itu belum cukup sebagai akhir cerita yang mengejutkan. Dengan ‘nakal’, Dee Dee masih menyodorkan fakta diakhir cerita bahwa setiap manusia punya kecenderungan misanthropy, tak terkecuali sang psikolog itu sendiri.

Yang paling menarik, sekaligus merupakan ‘intan’ dari buku ini adalah bagian ke-4; Tetralogi Roman. Pertama, karena hanya butuh sedikit kerja keras lagi, Dee Dee bisa mengasah ‘intan’ ini menjadi karya berbentuk novel -semoga-. Kedua, karena tetralogi berbentuk fiksi pendek termasuk langka ditemui, khususnya di Kompasiana. Itu bukan jenis cerita bersambung. Tetralogi Roman adalah 4 cerita  terpisah yang disatukan oleh satu benang merah (tema, plot, karakter, konflik, resolusi) dalam sebuah cerita besar yang utuh, namun setiap cerita mampu berdiri sendiri meski tanpa kehadiran cerita lainnya.

Tetralogi Roman menyajikan kisah yang tidak biasa. Sebuah kisah cinta antara dua saudara, Rafael & Alina. Mereka dipersaudarakan oleh perkawinan antara ibu Alina dengan ayah Rafael disaat mereka masih kanak-kanak. Ditangan penulis berbeda, tema ini mungkin diolah melalui rentetan konflik eksternal -bisa anda temukan pada tayangan sinetron-. Namun ditangan Dee Dee, justru menonjolkan konflik eksternal kedua tokoh utamanya. Cinta terlarang menurut Dee Dee akan lebih adil, seandainya kita mau memakai perspektif pelakunya. Saya ‘sedikit‘ dilanda melankolia saat tiba dibagian ini.

Dalam satu kesempatan mengobrol dengan Dee Dee Sabrina via YM, saya bertanya; Apakah Dee Dee menitikkan air mata saat menulis Tetralogi Roman tersebut. Dee Dee Sabrina menjawab; Hahahaha..

* * *

Sayang, sebagaimana umumnya literatur yang dipublikasikan didunia maya, fiksi-fiksi pendek Dee Dee Sabrina juga terkesan diciptakan terburu-buru. Sepertinya migrasi karya itu ke bentuk cetak juga tak luput dari kesan terburu-buru. Tidak ada revisi signifikan, kecuali -mungkin- penyempurnaan ejaan belaka. Sedikit pertanyaan dari saya sebagai pembaca muncul, antara lain pada bagian Flash Fiction. Pada Cerita Burung dan Kiamat Ternyata Tak Sesuai Kitab, penulisnya sedikit abai dalam proses penceritaan. Kedua cerita itu terlalu banyak memaksakan kehadiran unsur narasi dan deskripsi yang tidak penting dalam mendukung plot. Ada kesan penulis menganggap pembaca perlu pengantar cerita yang lebih banyak untuk memahami cerita. Di bagian yang sama, kelemahan juga tercermin pada Layar Kaca Rumah Tangga. Dee Dee Sabrina mengakhiri cerita terlalu cepat dengan akhir yang mirip ‘sinetron‘. Konflik terlalu datar, dan moral cerita terasa hambar -untuk tidak mengatakan nihil sama sekali-. Dari hampir 90  tulisan berkategori fiksi milik Dee Dee Sabrina di Kompasiana, saya tidak melihat alasan yang jelas mengapa judul ini ikut diterbitkan. Meskipun demikian, kepandaian Dee Dee dalam meramu kalimat membuat kelemahan itu lumayan tersamarkan.

* * *

Buku setebal 117 halaman itu tiba ditanganku dua hari setelah pemesanan. Desain sampulnya dikerjakan oleh agnikarma -kompasioner juga-, berupa foto hitam putih sebuah rumah yang dibingkai garis tipis warna merah. Minimalis, cuma judul buku dan nama pengarang yang menimpanya.

ISI diterbitkan secara indie. Harga Rp 50.000,-/ekspl tentu tidak mengikutkan mutu buku sebagai pertimbangan, semata kalkulasi ongkos produksi -anda tahu berapa harga sebuah gagasan & cita rasa?-.

Meski tergolong sederhana dari segi fisik; jenis kertas sampul & isi, buku ini lebih dari layak untuk dimiliki. Tampilan fisik ISI berbeda dengan tampilan fisik buku terbitan publisher mapan yang lebih fashionable. Seolah penulisnya ingin mengatakan, lihat isinya, jangan kemasannya -semoga ini bukan salah satu alasan mengapa penulis memberinya judul; ISI. Tapi hal itu tepat, sebab target utama penerbitan perdana karya Dee Dee ini sepertinya hanya dimaksudkan untuk pembaca yang telah mengetahui, atau minimal pernah membaca tulisan-tulisan Dee Dee sebelumnya, baik di dunia nyata maupun lingkup pergaulannya didunia maya. Saya sendiri termasuk pembeli jenis itu.

* * *

Minat saya menulis fiksi sama besarnya dengan minat belajar menulis fiksi. Hal itu saya kerjakan biasanya setelah mencermati isi buku dalam kapasitas sebagai pembaca. Hampir selalu ada teknik baru yang kita temukan disetiap buku, tak terkecuali yang saya temukan di ISI.

Dee Dee Sabrina paham teknik. Imajinasi tanpa teknik ibarat karya buruk rupa yang diklaim pembuatnya sebagai karya seni rupa; ini lukisan abstrak bung ! J Melalui kesempatan berkomuikasi dengan Dee Dee Sabrina via YM, saya mencoba melengkapi ‘ilmu’ yang saya temukan di ISI pada penulisnya sendiri. Bagi kawan-kawan yang berminat menambah pengetahuan tentang teknik menulis, silahkan membaca artikel tips menulis fiksi pendek a la Dee Dee Sabrina.

* * *

Setiap penulis (baca; kompasianer) ‘wajib’ menerbitkan buku. Anda boleh merendahkan diri anda sendiri dengan memberi cap buruk; tidak layak jual, pada tulisan anda. Tapi anda akan terkejut, atas kebahagian yang anda rasakan, serta apresiasi para pembaca, saat anda telah membukukannya. Saya tidak sedang membicarakan hasil penjualan buku anda, atau kerugian atas modal cetak yang tidak kembali. Anda penulis, bukan pedagang buku. Gambaran situasi ini diluar konteks anda sebagai penulis professional atau menulis sebagai hobby belaka. Tulisan adalah sumbangan anda pada dunia. Sisihkan uang anda untuk mencetaknya, lalu bandingkan, mana yang lebih banyak membawa perubahan bagi lingkungan sekitar anda; uang atau buku anda ?

Onhoorbaar groeit de padi- Tak terdengar maka tumbuhlah padi (Multatuli), demikianlah penulis menurutku. Scripta manent verba Volant !


Ujung Pandang, Desember 2010

* * *

*artikel asli ada di sini.

Minggu, 19 Desember 2010

Tips Menulis Fiksi Pendek

Beberapa hari yang lalu seorang kawan bertanya apakah saya bersedia diwawancarai terkait memberi tips untuk menulis fiksi pendek, seperti di cerita-cerita yang banyak saya ikutsertakan dalam ISI. Awalnya saya terdiam dan sedikit tidak percaya, ada rasa rendah diri yang menghantui saya dan berujar, apa saya pantas memberi tips bagi orang lain jika kualitas saya sebagai penulis pun belum pernah benar-benar terbukti. Tapi akhirnya saya menerima tawaran ini.

Proses wawancara sangatlah mudah. Melalui kotak digital dalam dunia virtual. Daeng Anto, begitu saya memanggil kawan tersebut, memberikan beberapa pertanyaan dan tugas saya hanyalah menjawab. Sesuai dengan  apa yang saya praktekkan dalam menulis tentunya. Dan Minggu siang kemarin saya menerima link yang dikirimkan beliau, ternyata tulisan tentang wawancara tersebut sudahpun di-posting ke dalam blog-nya.

Saya tidak tahu apakah teori dan teknik yang saya pakai dalam menulis adalah sudah benar, tapi ada baiknya anda coba membaca artikel dari Daeng Anto. Agar setidaknya jika teori yang saya jabarkan di sana terbukti tidak efektif, anda bisa belajar dari kesalahan saya.


Selamat membaca dan berkomentar!


Dee Dee

Resensi ISI: oleh Andi Gunawan

Fiksi cinta atau roman selalu berformula klasik yang hampir sama. Dua insan jatuh hati. Romantisme kasmaran. Kekecewaan mendalam. Sama tak pernah salah. Persoalannya adalah bagaimana mengemas hal yang serupa dengan sentuhan berbeda. Ini yang saya temukan saat membaca ISI. Dee Dee Sabrina mengemas kisah-kisahnya dalam balutan ketegasan pemilihan kata. Berani dan berapi-api di beberapa tempat. Ini menunjukkan semangat yang luar biasa dalam proses kreatifnya.

Keputusan penulis mengemas cerita-ceritanya dalam empat konsep yang berbeda inimenjadi pembeda sekaligus daya tarik tersendiri. Pembagian: Monolog-Dialog, Flash Fiction, Cerita Cerita Pendek, dan Tetralogi Roman yang diramu Dee adalah sebuah jalan keluar dari kebosanan bacaan fiksi yang semakin hari semakin seragam.

ISI benar-benar berisi, bernas dan segar. Representasi kaum muda yang tak biasa. Karakter-karakternya terbangun kuat. Selipan-selipan isu di tiap ceritanya terasa "dekat". Satir tapi tetap membumi. Untuk ukuran bayi yang baru lahir, bobotnya cukup ideal.



(Andi Gunawan - Penulis Buku "Kejutan!" )

Resensi ISI: oleh Howl Hara

Saat mulai membaca buku ini, saya beranggapan bahwa ISI bukanlah sesuatu yang baru. Tapi semua dugaan saya perlahan terbantah. Karya "Betina" satu ini telah berhasil memunculkan keunikan dari alur cerita yang sepertinya terlihat umum.

Pada bagian Flash Fiction dan Cerita Cerita Pendek, Dee Dee berhasil menampilkan sekilas gaya penulisan masa depan dengan tema-tema yang barubukan seperti kisah kebanyakan di masa lalu. Si penulis berhasil menyampaikan bayangan , gambaran akan sekian banyak kemungkinan. Bukan hanya sebagai bantahan terhadap fiksi kontemporer yang kebanyakan membawa satu tema serupa tapi tak sama (entah itu penderitaan karena suatu penyakit atau kematian yang sangat awam. Tidak, terimakasih!), tetapi lebih sebagai suatu alternatif baru dalam bercerita. Keterbukaannya dalam memanikan bahasa, kebebasan dalam gaya penulisannya, terasa begitu segar dan unik.

Ketika saya meneruskan membaca Tetralogi Roman, saya masih merasa begitu buta tentang apa yang coba disampaikan si penulis. Karena kualitas ketegangan, psikologis dan filosofis dari kisa tersebut tidak benar-benar muncul hingga halaman-halaman terakhir. Lalu apa yang menarik saya untuk terus membacanya hingga selesai?

Suara. Saya seperti mendengar langsung si penulis bercerita. Tajam. Renyah. Dan jelas. Ini adalah sesuatu yang benar-benar... Baru!

Ketika berpapasan dengan judul Dilanda Syalala pada halaman terakhir, bayangan saya tentang basa-basi murahan pun sempat terpapar pada awalnya. Tapi mengapa saya tertawa meringis setelah mengetahui semua isi dari cerita tersebut? Di sinilah euforia sebuah fiksi berhasil ditampilkan.

Akhirnya, apa yang saya pelajari setelah membaca buku ini adalah; bagaimana si penulis bisa menyisakan sebuah ruang bagi pembacanya, dan mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam.


Sabtu, 18 Desember 2010

Catatan Seorang Kawan Tentang ISI

Saat gue selesai membaca ISI, gue kontan ketawa ngakak, berpikir, lalu menghela nafas (kalau ditulis mendesah takut dikira merangsang :p ).

Awal sekali dulu saat dia mulai menulis, banyak tulisan Dee Dee yang ketika gue baca membuat gue sempat berpikir, gila tulisannya kadang cadas meski tak jarang terlalu sombong dan banyak "keakuan" pribadi yang disertakannya.

Kemudian saat gue membaca tulisan-tulisan Dee Dee lainnya di Kompasiana, "cakep!" itu komentar berikutnya sambil nyengir sendiri. Meski masih banyak tulisan-tulisan Dee Dee yang terlalu sombong dengan menyerang beberapa pihak diwakili oleh fiksi-fiksinya.

Lalu gue mendengar kabar niatannya untuk menerbitkan sebuah buku, gue jadi penasaran banget. Cerita-cerita seperti apa yang akan ditampilkan. Dan akhirnya gue memesan sebuah ISI. Ketika telah selesai membaca dalam waktu kurang dari dua hari, gue berkomentar sendiri,

"SETAN CADAS JUGA EY!!"

Kenapa gue bilang setan cadas juga ?
Karena beberapa tulisan Dee Dee berhasil menyampah dan mengendap di otak gue (gue baca sambil mikir kali yeee..).

* * *

Beberapa tulisan Dee Dee yang sangat membekas di otak gue:

"HARI INI MATI"  (Monolog - Dialog)
Secara tidak langsung, di sini Dee Dee menampar sebagian perempuan dengan titel IBU, yang sudah kehilangan nurani ke-Ibu-annya. Menjual anaknya demi uang (manusia yang menurut gue termasuk golongan setan, dan gue sering ngumpat itu kalo liat berita-berita di-tipi tentang itu).

"ROKOK PEMBUNUH" (Monolog - Dialog)
Awalnya gue pikir kok ini kayak iklan iklan rokok (bahaya kanker dan janin :p ), kemudian setelah gue baca dan selesaikan, ternyata bercerita tentang seorang psikopat.

"CERITA BURUNG" (Flash Fiction)
Gue pikir ini cerita tentang burung apa ya, ternyata menceritakan tentang keadaan masyarakat sosial yang bobrok dan sudah menjalar kesebagian para penggede negeri ini

Bagian Cerita Cerita Pendek yang ditampilkan dalam buku ini juga sangat menarik dan berkesan, meski butuh sedikit waktu untuk memahaminya. Karena tidak semua ditampilkan secara gamblang dan vulgar. Seperti cerita di sebuah judul INDIGO yang bercerita tentang gadis dengan kelebihan indera keenam. Gue agak sulit memahami cerita ini awalnya, tapi akhirnya kesan yang coba ditampilkan bisa gue dapat pada paragraf terakhir cerita ini.

Kemudian bagian terakhir Tetralogi Roman yang diisi oleh empat cerita Roman berbeda dengan satu benang merah. Gue suka meskipun saat membacanya gue agak lompat-lompat karena nggak sabar ingin segera mengetahui akhir ceritanya.
Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!! Gue berteriak kencang dalam hati. Karena di sini Dee Dee berhasil menggambarkan bahwa cinta itu rumit, abstrak dan bukan picisan. Sakral! Bukan seperti cinta kebanyakan di sinetron-sinetron, atau cerita ABG labil yang kesannya terlalu mudah ngomong, "gue cinta lu!"
BAH!

* * *

Catatan gue untuk si penulis: Heh Dee Dee Sabrina betina jantan! Lu hebat, jangan disia-siain itu bakat ya... Kembangkan lagi keliaranmu dalam pena dan tulisan!! Gue suka bacanya!!


Oleh: Luqyana Vera

--------------------------------

*Bukan sebuah resensi sama sekali, ini hanya catatan seorang kawan setelah membaca buku ISI.

Senin, 15 November 2010

Antologi Fiksi: ISI

ISI: 117 pages. Price: 50.000 IDR
ISI adalah sebuah antologi fiksi. Terdiri dari 4 format penulisan: Monolog-Dialog, Flash Fiction, Cerita Cerita Pendek dan Tetralogi Roman. Melalui 16 karya fiksi yang beragam, ISI menampilkan nuansa yang cenderung gelap, sendu dan satir dalam cerita-ceritanya.

Dalam 117 halaman, ISI mencoba memberi gambaran betapa manusia bisa menjadi begitu menakutkan, seperti yang diceritakan dalam kisah Rokok Pembunuh, Layar Kaca Rumah Tangga, Muntah Manusia dan Indigo. Menyertakan khayalan si penulis tentang eksistensi dan esensi kiamat yang terangkum dalam dua cerita, Kiamat Ternyata Tak Sesuai Kitab dan Parade Akhir Zaman. Tak ketinggalan pula pembelajaran tentang mimpi yang disusun dalam Tetralogi Roman pada bagian akhir buku.

Penulis antologi fiksi ini cukup lincah untuk menyusupkan ide-idenya ke banyak kisah antara sepasang kekasih. Dan ide-ide yang dia susupkan itu, sungguh liar dan nakal. Kiranya hal itu yang membuat "ISI" ini menjadi begitu padat, selain juga karena berbagai variasi bentuk cerita yang disajikan. (Gibb - www.rawdep.net)
"ISI" benar-benar berisi, bernas dan segar. Reprentasi kaum muda yang tak biasa. Karakter-karakternya terbangun kuat. Selipan-selipan isu di tiap ceritanya terasa "dekat". Satir tapi tetap membumi. Untuk ukuran bayi baru lahir, bobotnya cukup ideal. (Andi Gunawan - penulis buku "Kejutan!")
Apa yang saya pelajari setelah membaca buku ini adalah; bagaimana si penulis bisa menyisakan sebuah ruang bagi pembacanya, dan mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam.(Hara - www.deadmediafm.org)
Cara pembelian:

Bagi yang di luar Medan; Konfirmasi jumlah pesanan dan lokasi anda berada. Kemudian saya akan mengabarkan berapa jumlah yang harus anda transfer termasuk ongkos pengiriman (saya akan cari yang termurah dan teraman, tenang saja). Setelah anda melakukan pembayaran, kembali konfirmasi kepada saya nomor bukti transfer-nya, lalu buku akan segera saya kirimkan.

Bagi yang berada di Medan dan sekitar; Beritahu jumlah pesanan anda, dan kita akan bertemu muka. Bayar di tempat, dan buku mendarat.

ISI diterbitkan secara mandiri. Untuk informasi cara pembelian lebih lanjut, komentar, saran dan kritik, silahkan kontak saya di:

dee.dee.sabrina@live.com



Dee Dee