Selasa, 21 Desember 2010

Resensi ISI: oleh (Daeng) Rusdianto

Kalau bisa membaca isinya di kompasiana -gratis-, lalu buat apa memiliki bukunya ? Pertanyaan ini muncul begitu mendengar kabar terbitnya buku seorang kompasianer, yang isinya melulu tulisan-tulisan yang pernah dipublikasikan di blog social media ini. Namun belakangan saya temukan, jawabannya justru telah ada jauh sebelum muncul pertanyaan tersebut.

Beberapa kompasianer telah menarik hati saya melalui karya-karyanya sejak mula bergabung di Kompasiana; Endah Raharjo, Agung SDW, Silveria Verawaty, Odi Salahuddin, Della Anna, Pungky, Gibb, Santy Novaria, Mays, Dee Dee Sabrina, untuk menyebut antara lain kompasianer favorit saya. Kerap timbul rasa ‘kesal’ bila kompasianer bersangkutan, lama tidak memposting tulisannya. Sejak mula pula, saya berhasrat agar  tulisan-tulisan mereka dapat dibukukan, terlepas apakah mereka juga punya hasrat yang sama. Bila salah satu dari mereka berhasil menerbitkan karya dalam versi cetak; Saya ingin memilikinya.

Membaca tulisan di media online belum senyaman membaca buku. Selain butuh koneksi internet -lebih mahal-, juga ada kemungkinan tulisan-tulisan lama yang hendak kita baca ulang telah dihapus oleh pemiliknya, atau bahkan lebih parah lagi, situs penyimpanannya telah hilang dari peredaran. Pengarsipan dengan kertas jauh lebih aman menurut saya.

Maka, ketika tersiar kabar terbitnya buku antologi fiksi karya kompasianer Dee Dee Sabrina yang pernah dimuat di kompasiana, saya lansung memesan via online kepada penulis bersangkutan..

* * *
12929387132078416450


ISI. Sebuah buku antologi cerita fiksi karya Dee Dee Sabrina. Dengan maksud memudahkan pembaca mengidentifikasi bentuk cerita, penulis mengelompokkan isinya kedalam 4 bagian, masing-masing berisi 4 cerita, total 16 cerita fiksi. Pengelompokan itu semata pengkategorian bentuk/jenis fiksi yang dipergunakan penulisnya untuk menuangkan cerita; Monolog-dialog; flash fiction; cerita pendek; tetralogi roman. Kategori terakhir biasanya hanya lazim ditemui pada fiksi panjang semacam novel (mis. karya Andrea Hirata & Pram). Disini Dee Dee seolah ingin mengatakan bahwa kategori tetralogi tidak mempersyaratkan panjang pendeknya sebuah cerita.

Kekuatan utama buku ini ada pada kepiawaian penulisnya memilih ide cerita yang orisinil. Tak ada cerita yang luput dari dukungan tema yang kuat -hal yang mulai langka ditemukan sekarang ini-. satu tema untuk satu cerita. Penulisnya cukup disiplin untuk tidak membiarkan diksi dan rangkaian kalimat bermain diluar tema yang telah ditentukan. Pada Rokok Pembunuh, misalnya, penulisnya hanya bercerita tentang tokoh yang takut terbunuh oleh asap rokok sehingga harus membunuh setiap orang yang merokok didekatnya, dari awal sampai akhir.

Aku tidak suka rokok. Tidak pernah suka asap rokok. Ketika SMP, rumahku yang terbuat dari papan kayu seadaanya terbakar habis. Seorang jalang membuang puntungnya…..

Aku tidak suka rokok. Tidak pernah suka asap rokok. Lelaki asing yang berjanji membawaku kenegerinya memenuhi mulutku dengan aroma nikotin…

Tema -yang juga bisa berarti moral cerita- yang kuat juga tersaji pada Indigo. Dee Dee tahu bahwa manusia takut pada hantu disaat yang sama mereka tidak pernah melihatnya. Meminjam karakter Nanda (anak 10 tahun yang ‘mampu‘ melihat mahluk gaib seperti hantu, arwah, etc) yang membandingkan antara mahluk gaib yang dilihatnya dengan mahluk nyata, yaitu ibunya, Dee Dee menjungkirbalikkan persepsi khalayak. Bahwa justru manusia nyata jauh lebih menakutkan ketimbang mahluk gaib.

Dee Dee sepertinya terobsesi untuk menjungkirbalikkan kelaziman. Saya curiga, dia enggan menulis meski telah menemukan tema, jika belum menemukan logika terbalik dari ide dasar cerita. Fakta ini secara gemilang diwujudkannya -juga- pada Muntah Manusia. Cerpen ini mengisahkan seorang psikolog kepolisian yang mencoba menginterogasi seorang psikopat; pembunuh berantai yang mengeksekusi korbannya hanya karena muak melihat manusia (misanthropy). Atas saran ahli tokoh psikolog, psikopat itu dihukum dengan cara membunuh dirinya sendiri; dia ditempatkan pada sel yang terbuat dari cermin. Bagi Dee Dee, itu belum cukup sebagai akhir cerita yang mengejutkan. Dengan ‘nakal’, Dee Dee masih menyodorkan fakta diakhir cerita bahwa setiap manusia punya kecenderungan misanthropy, tak terkecuali sang psikolog itu sendiri.

Yang paling menarik, sekaligus merupakan ‘intan’ dari buku ini adalah bagian ke-4; Tetralogi Roman. Pertama, karena hanya butuh sedikit kerja keras lagi, Dee Dee bisa mengasah ‘intan’ ini menjadi karya berbentuk novel -semoga-. Kedua, karena tetralogi berbentuk fiksi pendek termasuk langka ditemui, khususnya di Kompasiana. Itu bukan jenis cerita bersambung. Tetralogi Roman adalah 4 cerita  terpisah yang disatukan oleh satu benang merah (tema, plot, karakter, konflik, resolusi) dalam sebuah cerita besar yang utuh, namun setiap cerita mampu berdiri sendiri meski tanpa kehadiran cerita lainnya.

Tetralogi Roman menyajikan kisah yang tidak biasa. Sebuah kisah cinta antara dua saudara, Rafael & Alina. Mereka dipersaudarakan oleh perkawinan antara ibu Alina dengan ayah Rafael disaat mereka masih kanak-kanak. Ditangan penulis berbeda, tema ini mungkin diolah melalui rentetan konflik eksternal -bisa anda temukan pada tayangan sinetron-. Namun ditangan Dee Dee, justru menonjolkan konflik eksternal kedua tokoh utamanya. Cinta terlarang menurut Dee Dee akan lebih adil, seandainya kita mau memakai perspektif pelakunya. Saya ‘sedikit‘ dilanda melankolia saat tiba dibagian ini.

Dalam satu kesempatan mengobrol dengan Dee Dee Sabrina via YM, saya bertanya; Apakah Dee Dee menitikkan air mata saat menulis Tetralogi Roman tersebut. Dee Dee Sabrina menjawab; Hahahaha..

* * *

Sayang, sebagaimana umumnya literatur yang dipublikasikan didunia maya, fiksi-fiksi pendek Dee Dee Sabrina juga terkesan diciptakan terburu-buru. Sepertinya migrasi karya itu ke bentuk cetak juga tak luput dari kesan terburu-buru. Tidak ada revisi signifikan, kecuali -mungkin- penyempurnaan ejaan belaka. Sedikit pertanyaan dari saya sebagai pembaca muncul, antara lain pada bagian Flash Fiction. Pada Cerita Burung dan Kiamat Ternyata Tak Sesuai Kitab, penulisnya sedikit abai dalam proses penceritaan. Kedua cerita itu terlalu banyak memaksakan kehadiran unsur narasi dan deskripsi yang tidak penting dalam mendukung plot. Ada kesan penulis menganggap pembaca perlu pengantar cerita yang lebih banyak untuk memahami cerita. Di bagian yang sama, kelemahan juga tercermin pada Layar Kaca Rumah Tangga. Dee Dee Sabrina mengakhiri cerita terlalu cepat dengan akhir yang mirip ‘sinetron‘. Konflik terlalu datar, dan moral cerita terasa hambar -untuk tidak mengatakan nihil sama sekali-. Dari hampir 90  tulisan berkategori fiksi milik Dee Dee Sabrina di Kompasiana, saya tidak melihat alasan yang jelas mengapa judul ini ikut diterbitkan. Meskipun demikian, kepandaian Dee Dee dalam meramu kalimat membuat kelemahan itu lumayan tersamarkan.

* * *

Buku setebal 117 halaman itu tiba ditanganku dua hari setelah pemesanan. Desain sampulnya dikerjakan oleh agnikarma -kompasioner juga-, berupa foto hitam putih sebuah rumah yang dibingkai garis tipis warna merah. Minimalis, cuma judul buku dan nama pengarang yang menimpanya.

ISI diterbitkan secara indie. Harga Rp 50.000,-/ekspl tentu tidak mengikutkan mutu buku sebagai pertimbangan, semata kalkulasi ongkos produksi -anda tahu berapa harga sebuah gagasan & cita rasa?-.

Meski tergolong sederhana dari segi fisik; jenis kertas sampul & isi, buku ini lebih dari layak untuk dimiliki. Tampilan fisik ISI berbeda dengan tampilan fisik buku terbitan publisher mapan yang lebih fashionable. Seolah penulisnya ingin mengatakan, lihat isinya, jangan kemasannya -semoga ini bukan salah satu alasan mengapa penulis memberinya judul; ISI. Tapi hal itu tepat, sebab target utama penerbitan perdana karya Dee Dee ini sepertinya hanya dimaksudkan untuk pembaca yang telah mengetahui, atau minimal pernah membaca tulisan-tulisan Dee Dee sebelumnya, baik di dunia nyata maupun lingkup pergaulannya didunia maya. Saya sendiri termasuk pembeli jenis itu.

* * *

Minat saya menulis fiksi sama besarnya dengan minat belajar menulis fiksi. Hal itu saya kerjakan biasanya setelah mencermati isi buku dalam kapasitas sebagai pembaca. Hampir selalu ada teknik baru yang kita temukan disetiap buku, tak terkecuali yang saya temukan di ISI.

Dee Dee Sabrina paham teknik. Imajinasi tanpa teknik ibarat karya buruk rupa yang diklaim pembuatnya sebagai karya seni rupa; ini lukisan abstrak bung ! J Melalui kesempatan berkomuikasi dengan Dee Dee Sabrina via YM, saya mencoba melengkapi ‘ilmu’ yang saya temukan di ISI pada penulisnya sendiri. Bagi kawan-kawan yang berminat menambah pengetahuan tentang teknik menulis, silahkan membaca artikel tips menulis fiksi pendek a la Dee Dee Sabrina.

* * *

Setiap penulis (baca; kompasianer) ‘wajib’ menerbitkan buku. Anda boleh merendahkan diri anda sendiri dengan memberi cap buruk; tidak layak jual, pada tulisan anda. Tapi anda akan terkejut, atas kebahagian yang anda rasakan, serta apresiasi para pembaca, saat anda telah membukukannya. Saya tidak sedang membicarakan hasil penjualan buku anda, atau kerugian atas modal cetak yang tidak kembali. Anda penulis, bukan pedagang buku. Gambaran situasi ini diluar konteks anda sebagai penulis professional atau menulis sebagai hobby belaka. Tulisan adalah sumbangan anda pada dunia. Sisihkan uang anda untuk mencetaknya, lalu bandingkan, mana yang lebih banyak membawa perubahan bagi lingkungan sekitar anda; uang atau buku anda ?

Onhoorbaar groeit de padi- Tak terdengar maka tumbuhlah padi (Multatuli), demikianlah penulis menurutku. Scripta manent verba Volant !


Ujung Pandang, Desember 2010

* * *

*artikel asli ada di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar